Pengertian

Menurut Kaimuddin, dkk (2011), Angngaru merupakan  tradisi yang bersifat sakral bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Sakral karena ia bagian dari acara adat dan bersifat protokoler misalnya apada acara Temmu Taung, mengangkat janji sumpah setia. Penyambutan tamu yang dihormati dan mangngaru dapat juga terjadi ketika menyampaikan keinginan/hajat pada boting langi (mahluk langit), tentu dengan kalimat-kalimat yang terkadan hanya dimnerti oleh strata tertentu misalnya Bissu, juga dalam menyampaikan kebulatan tekad atau sumpah setia, semua diiringi musik yang terstruktur. 

Angngaru ini juga salah satu rangkaian dalam acara pa’bunting (pesta pernikahan) yang dikenal dengan istilah mappacci (membersihkan diri dan mendengar nasihat-nasihat yang disampaikan lewat sastra “Ngaru” tersebut yang disertai dengan iringan musik). Tapi keadaan ini hanya dilaksanakan oleh masyarakat dengan strata tertentu. Penyebab dari kesakralan angngru ini karena tidak setiap saat bisa dipertunjukkan, sebab pelaksanaannya terkair prasaranan alat-alat musik daerah seperti ganrang, pui-pui, gong, tinnong-tinnong, disertai pula dengan kostum adat passapu (destar), baju kantiu (jas), celana barocci (celana sekitar 10 cm dibawah lutut) dan sarung yang di bida’ (gulung) hingga panjangnya hanya sampai lutut.

Adapun awal tradisi mangngaru pada masa kerajaan  ketika terjadi peperangan, sang pangngaru atau yang melaksanakan angngaru ditunjuk tertentu sebagai pemegang bendera atau panji peperangan, ketika dalam peristiwa pasukan terdesak oleh lawan, maka pangngaru melakukan bate/bekas kaki diperjelas, lalu mnancpkan bendera diatas bate tersebut, sambil tangnnya mencabut badik, diiringi sumpah setia kepada pasukn dengan teriakan yang menggelagar untuk didengar oleh lawan, kawan ataupun botinglangi (penghuni langit) dengan tekad dan janji bahwa ” dirinya tak akan mundur dari bate/batas kaki yang telah menjadi penanda meski nyawa harus melayang.

Melengkapi ulasan ini kami paparkan salah satu bait pertama dalam angngaru sbb:

Cini-cini sai Karaeng : ᨌᨗᨊᨗ-ᨌᨗᨊᨗ  ᨔᨕᨗ  ᨀᨑᨕᨙ

Bannang kebo ri Gowa : ᨅᨊ  ᨀᨙᨅᨚᨀ  ᨑᨗ ᨁᨚᨏ

Tassampea ri Galesong : ᨈᨔᨄᨙᨐ  ᨑᨗ ᨁᨒᨙᨔᨚ

Lambaraka ri Tanralili : ᨒᨅᨑᨀ   ᨑᨗ ᨈᨑᨒᨒᨗᨒᨗ

Nakkatepokang ujung : ᨊᨀᨈᨙᨄᨚᨀ  ᨕᨘᨍᨘ

Nakkareppekan pangngulu : ᨊᨀᨑᨙᨄᨙ

Tannga parang pi sallang Karaeng :

Nani ciniki… …. …… dst. :

Sehubungan dengan adanya distorsi dalam implementasi budaya luhur, perlu usaha untuk membentuk karakter Bugis-Massar masih berpegang teguh pada lempu, getteng, adatongeng, acca, demi keterikatan dalam janji ksetian ya ng keluar dari ucapan Pangngaru.

 

Daftar Pustaka:

Kaimuddin Mabbaco, dkk. (2011). Kearifan Budaya Lokal. Jakarta Pusat: PT Pustaka Indonesia Press. 


Kumpulan Video Aru